Rabu, 26 Oktober 2011

rasionalisme dan empiris


RASIONALISME DAN EMPIRISME
Rasionalisme
Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism.5 Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”.6 A.R. Lacey7 menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran.
Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.8 Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti.9
Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.10
Kaum Rasionalisme mulai dengan sebuah pernyataan yang sudah pasti. Aksioma dasar yang dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya, maupun tidak mempelajari lewat pengalaman. Ide tersebut kiranya sudah ada “di sana” sebagai bagian dari 
kenyataan dasar dan pikiran manusia.11 Dalam pengertian ini pikiran menalar. Kaum rasionalis berdalil bahwa


karena pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada, artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip itu tidak ada, orang tidak mungkin akan dapat menggambarkannya. Prinsip dianggap sebagai sesuatu yang apriori, dan karenanya prinsip tidak dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau dari prinsip tersebut.12
Dalam perkembangannya Rasionalisme diusung oleh banyak tokoh, masing-masingnya dengan ajaran-ajaran yang khas, namun tetap dalam satu koridor yang sama. Pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan seperti René Descartes, Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza. Sedangkan pada abad ke-18 nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert adalah para pengusungnya.

Empirisme
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience.13 Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia14 yang berarti “berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Sementara menurut A.R. Lacey15 berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.
Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai Empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal.16
Menurut aliran ini adalah tidak mungkin untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai peluang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak tidak akan pernah dapat dijamin.17
Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan 
seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika kita mengatakan kepada dia bahwa seekor harimau di kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk menjelaskan bagaimana kita dapat sampai kepada kesimpulan tersebut. Jika kemudian kita mengatakan bahwa kita melihat harimau tersebut di dalam kamar mandi, baru kaum empiris akan mau mendengar laporan mengenai pengalaman kita, namun dia hanya akan menerima hal tersebut jika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan jalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri.18



Seperti juga pada Rasionalisme, maka pada Empirisme pun terdapat banyak tokoh pendukungnya yang tidak kalah populernya. Tokoh-tokoh dimaksud di antarnya adalah David Hume, John Locke dan Bishop Berkley.

RASIONALISME RENÉ DESCARTES
Kehidupan dan Karya René Descartes
René Descartes atau Cartesius dilahirkan di La Haye, sebuah kota kecil di Touraine, Perancis tahun 1596.19 Ia mendapatkan pendidikan di sekolah Jesuit di La Flèche. Selama di sekolah ini, karena kondisi kesehatannya yang kurang baik, ia diizinkan untuk tetap berada di tempat tidur dan ini pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan selama hidupnya. Di sekolah Jesuit, Descartes mendapatkan pelajaran-pelajaran tentang filsafat, fisika dan matematika. Selama di sekolah ini pula ia ikut merayakan ditemukannya berbagai bulan yang ada pada planet Jupiter tahun 1611.
Setelah meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan pendidikannya ke sekolah hukum di Poitiers. Selanjutnya ia berpergian di beberapa negera Eropa selama satu dekade, termasuk tiga tahun di Paris, di mana ia menemukan Mersenne, yang kemudian menjadi mentornya. Pada tahun 1629, dalam pencariannya akan ketenangan dan kesunyaian, ia menetap di Belanda. Belanda dianggap sebagai tempat yang paling tepat karena iklim kebebasannya yang terbaik di Eropa.20 Descartes menetap di Belanda sampai dengan 1649. Pada rentang waktu tahun-tahun inilah ia menulis banyak karya ilmiah.21 Pada Oktober 1649 pula ia pindah ke Stochkholm, Swedia, namun pada Februari tahun berikutnya yakni 1650, ia wafat karena penyakit pneumonia.22
Sebagai seorang filosof, Descartes telah menghasilkan beberapa karya filsafat yakni: Discours de la méthode pour bien conduire sa raison et chercher

Ajarannya
René Descartes mengajukan argumentasi yang kukuh untuk pendekatan rasional terhadap pengetahuan. Hidup dalam keadaan yang penuh dengan pertentangan ideologis, Descartes berkeinginan untuk mendasarkan keyakinannya kepada sebuah landasan yang memiliki kepastian yang mutlak. Untuk itu, ia melakukan berbagai pengujian yang mendalam terhadap segenap yang diketahuinya. Dia memutuskan bahwa jika ia menemukan suatu alasan yang meragukan suatu kategori atau prinsip pengetahuan, maka ketegori itu akan dikesampingkan. Dia hanya akan menerima sesuatu yang tidak memiliki keraguan apa-apa. Apapun yang masih dapat diragukan maka hal tersebut wajib diragukan. Seluruh pengetahuan yang dimiliki manusia harus diragukan termasuk pengetahuan yang dianggap paling pasti dan sederhana.25 Keraguan Descartes inilah yang kemudian dikenal sebagai keraguan metodis universal.
Pengetahuan-pengetahuan yang harus diragukan dalam hal ini adalah berupa: segala sesuatu yang kita didapatkan di dalam kesadaran kita sendiri, karena semuanya mungkin adalah hasil khayalan atau tipuan; dan segala sesuatu yang hingga kini kita anggap sebagai benar dan pasti, misalnya pengetahuan yang telah didapatkan dari pendidikan atau pengajaran, pengetahuan yang didapatkan melalui penginderaan, pengetahuan tentang adanya benda-benda dan adanya tubuh kita, pengetahuan tentang Tuhan, bahkan juga pengetahuan tentang ilmu pasti yang paling sederhana.26
Menurut Descartes, satu-satunya hal yang tidak dapat diragukan adalah eksistensi dirinya sendiri; dia tidak meragukan lagi bahwa dia sedang ragu-ragu. Bahkan jika kemudian dia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada; dia berdalih bahwa penyesatan itu pun merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan.27 Aku yang ragu-ragu adalah kenyataan yang tidak dapat disangkal karena apabila kita menyangkalnya berarti kita melakukan apa yang disebut kontradiksi performatis. Dengan kata lain, kesangsian secara langsung menyatakan adanya aku, pikiranku yang kebenarannya bersifat pasti dan tidak tergoyahkan. Kebenaran tersebut bersifat pasti karena aku mengerti itu secara jernih dan terpilah-pilah atau dengan kata lain tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Kristalisasi dari kepastian Descartes diekspresikan dengan diktumnya 
yang cukup terkenal, “cogito, ergo sum”, aku berpikir maka aku ada. 28 Beberapa catatan ditambahkan oleh Gallagher dan Hadi29 tentang maksud dari cogito, ergo sum ini. Pertama, isi dari cogito yakni apa yang dinyatakan kepadanya adalah melulu dirinya yang berpikir. Yang termaktub di dalamnya adalah cogito, ergo sum cogitans. Saya berpikir, maka saya adalah pengada yang berpikir, yaitu eksistensi dari akal, sebuah substansi dasar. Kedua, cogito bukanlah sesuatu yang dicapai melalui proses penyimpulan, dan ergo bukanlah ergo silogisme. Yang dimaksud Descartes adalah bahwa eksistensi personal saya

yang penuh diberikan kepada saya di dalam kegiatan meragukan. Lebih jauh, menurut Descartes, apa yang jernih dan terpilah-pilah itu tidak mungkin berasal dari luar diri kita. Descartes memberi contoh lilin yang apabila dipanaskan mencair dan berubah bentuknya. Apa yang membuat pemahaman kita bahwa apa yang nampak sebelum dan sesudah mencair adalah lilin yang sama? Mengapa setelah penampakan berubah kita tetap mengatakan bahwa itu lilin? Jawaban Descartes adalah karena akal kita yang mampu menangkap ide secara
jernih dan gamblang tanpa terpengaruh oleh gejala-gejala yang ditampilkan lilin. Oleh karena penampakan dari luar tidak dapat dipercaya maka seseorang mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam dirinya sendiri yang bersifat pasti. Ide-ide yang bersifat pasti dipertentangkan dengan ide-ide yang berasal dari luar
yang bersifat menyesatkan.30 Berbeda dengan para rasionalis-ateis seperti Voltaire, Diderot dan
D’Alembert, Descartes masih memberi tempat bagi Tuhan. Descartes masih dalam koridor semangat skolastik yaitu penyelarasan iman dan akal. Descartes mempertanyakan bagaimana ide tentang Tuhan sebagai tak terbatas dapat dihasilkan oleh manusia yang terbatas. Jawabannya jelas. Tuhanlah yang meletakkan ide tentang-Nya di benak manusia karena kalau tidak keberadaan ide tersebut tidak bisa dijelaskan.31
Descartes merupakan bagian dari kaum rasionalis yang tidak ingin menafikan Tuhan begitu saja sebagai konsekuensi pemikiran mereka. Kaum rasionalis pada umumnya “menyelamatkan” ide tentang keberadaan Tuhan dengan berasumsi bahwa Tuhanlah yang menciptakan akal kita juga Tuhan yang menciptakan dunia.
Tuhan menurut kaum rasionalis adalah seorang “Matematikawan Agung”. Matematikawan agung tersebut dalam menciptakan dunia ini meletakkan dasar- dasar rasional, ratio, berupa struktur matematis yang wajib ditemukan oleh akal pikiran manusia itu sendiri.32
28 Ibid. Lihat juga Descartes, Discourse on the Method of Rightly Conducting the Reason and Seeking Truth in the Science..., hal. 26-27.
29 Kenneth T. Gallagher, the Philosophy of Knowledge, New York, Fordham University Press, 1986, hal. 32. Lihat juga Hardono Hadi, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta, Kanisius, 1994, hal. 33-34.
30 Descartes, The Principles of Philosophy..., hal 167-168. 31 Descartes, Discourse on the Method of Rightly Conducting the Reason and Seeking Truth in
the Science..., hal. 28. Lihat juga Descartes, The Principles of Philosophy..., hal 169-170. 32 Adian, op. Cit., hal. 47.
239
EMPIRISME DAVID HUME
Kehidupan dan Karya David Hume
M. Ied Al Munir, Tinjauan Kritis Metode Ilmiah ..David Hume lahir di Edinburg, Skotlandia pada 1711.33 Ia pun menempuh pendidikannya di sana. Keluarganya berharap agar ia kelak menjadi ahli hukum, tetapi Hume hanya menyenangi filsafat dan pengetahuan. Setelah dalam beberapa tahun belajar secara otodidak, ia pindah ke La Flèche, Prancis (tempat di mana Descartes menempuh pendidikan).34 Sejak itu pula hingga wafatnya 1776 ia lebih banyak menghabiskan waktu hidupnya di Prancis.
Sebagaimana Descartes, Hume juga meninggalkan banyak tulisan berikut: A Treatise of Human Nature, 1739-1740; Essays, Moral, Political and Literary, 1741-1742; An Enquiry Concerning Human Understanding, 1748; An Enquiry Concerning the Principles of Morals, 1751; Political Discourses, 1752; Four Dissertation, 1757; Dialogues Concerning Natural Religion, 1779; dan Immortality of the Soul, 1783.35 Perlu dicatat bahwa buku-buku An Enquiry Concerning Human Understanding dan An Enquiry Concerning the Principles of Morals merupakan ringkasan dan revisi dari buku A Treatise of Human Nature.36
Ajarannya
Usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak dan pasti telah berlangsung secara terus menerus. Namun, terdapat sebuah tradisi epistemologis yang kuat untuk mendasarkan diri kepada pengalaman manusia yang meninggalkan cita-cita untuk mendapatkan pengetahuan yang mutlak dan pasti tersebut, salah satunya adalah Empirisme.
Kaum empiris berpandangan bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh melalui pengalaman. Hume seperti layaknya filosof Empirisme lainnya menganut prinsip epistemologis yang berbunyi, “nihil est intelectu quod non antea fuerit in sensu” yang berarti, “tidak ada satu pun ada dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat pada data-data inderawi”.37
Hume melakukan pembedaan antara kesan dan ide. Kesan merupakan penginderaan langsung atas realitas lahiriah, sementara ide adalah ingatan atas kesan-kesan. Menurutnya, kesan selalu muncul lebih dahulu, sementara ide sebagai pengalaman langsung tidak dapat diragukan.38Dengan kata lain, karena ide merupakan ingatan atas kesan-kesan, maka isi pikiran manusia tergantung kepada aktivitas inderanya.
Kesan maupun ide, menurut Hume, dapat sederhana maupun kompleks.


Sebuah ide sederhana merupakan perpanjangan dari kesan sederhana. Begitu pula ide kompleks merupakan kelanjutan dari kesan kompleks. Tapi, dari ide kompleks dapat diturunkan menjadi ide sederhana.39
Pikiran kita menurut Hume bekerja berdasarkan tiga prinsip pertautan ide. Pertama, prinsip kemiripan yaitu mencari kemiripan antara apa yang ada di benak kita dengan kenyataan di luar. Kedua, prinsip kedekatan yaitu kalau kita memikirkan sebuah rumah, maka berdasarkan prinsip kedekatan kita juga berpikir tentang adanya jendela, pintu, atap, perabot sesuai dengan gambaran rumah yang kita dapatkan lewat pengalaman inderawi sebelumnya. Ketiga, prinsip sebab-akibat yaitu jika kita memikirkan luka, kita pasti memikirkan rasa sakit yang diakibatkannya.40
Hal-hal di atas mengisyaratkan bahwa ide apa pun selalu berkaitan dengan kesan. Karena kesan berkaitan langsung dengan pengalaman inderawi atas realitas maka ide pun harus sesuai dengan relitas yang ditangkap pengalaman inderawi.
Berdasarkan prinsip epistemologinya, Hume melancarkan kritik keras terhadap asumsi epistemologi warisan filsafat Yunani kuno yang selalu mengklaim bahwa pengetahuan kita mampu untuk menjangkau semesta sesungguhnya. Hume mengemukakan bahwa klaim tentang semesta sesunguguhnya di balik penampakan tidak dapat dipastikan melalui pengalaman faktual maupun prinsip non-kontradiksi.41
Kritik Hume diejawantahkan dalam sikap skeptisnya terhadap hukum sebab akibat yang diyakini oleh kaum rasionalis sebagai prinsip utama pengatur semesta.42 Kenicayaan hubungan sebab akibat tidak pernah bisa diamati karena semuanya masih bersifat kemungkinan.
Hubungan sebab akibat, menurut Hume, didapatkan berdasarkan kebiasaan dan harapan belaka dari peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan satu sama lain. Orang sudah terbiasa di masa lalu melihat peristiwa matahari terbit di Timur selalu diikuti oleh peristiwa tenggelam di Barat dan ia akan mengharapkan peristiwa yang sama terjadi di masa yang akan datang. Bagi Hume, ilmu pengetahuan tidak pernah mampu memberi pengetahuan yang niscaya tentang dunia ini. Kebenaran yang bersifat apriori seperti ditemukan dalam matematika, logika dan geometri memang ada, namun menurut Hume, itu tidak menambah pengetahuan kita tentang dunia. Pengetahuan kita hanya bisa bertambah lewat pengamatan empiris atau secara aposteriori.43

TINJAUAN ATAS METODE ILMIAH DESCARTES DAN HUME
Rasionalisme Descartes dan Empirisme Hume masing-masing memiliki kelemahan apabila digunakan sebagai sebagai sebuah metode ilmiah. Kelemahan- kelemahan ini misalnya diperlihatkan oleh Honer dan Hunt. Pada Rasionalisme
mereka melihat beberapa kelemahan. Pertama, pengetahuan yang dibangun oleh Rasionalisme hanyalah dibentuk oleh ide yang tidak dapat dilihat dan diraba. Eksistensi tentang ide yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu sendiri belum dapat didukung oleh semua orang dengan kekuatan dan keyakinan yang sama. Kedua, kebanyakan orang merasa kesulitan untuk menerapkan konsep Rasionalisme ke dalam kehidupan keseharian yang praktis. Ketiga, Rasionalisme gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia. Banyak dari ide yang sudah pasti pada satu waktu kemudian berubahan pada waktu yang lain.44
Sementara itu pada Empirisme Honer dan Hunt45 juga melihat beberapa kelemahan. Pertama, Empirisme didasarkan kepada pengalaman. Tetapi apakah yang dimaksud dengan pengalaman? Pada satu waktu ia hanya berarti sebagai ransangan pancaindera. Lain waktu ia berarti sebagai sebuah sensasi ditambah dengan penilaian. Sebagai sebuah konsep, ternyata pengalaman tidak berhubungan langsung dengan kenyataan objektif yang sangat ditinggikan oleh kaum Empiris. Fakta tidak mempunyai apapun yang bersifat pasti. Kedua, sebuah teori yang sangat bergantung kepada persepsi pancaindera kiranya melupakan kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Pancaindera sering menyesatkan karena tidak memiliki perlengkapan untuk membedakan antara khayalan dan fakta. Ketiga, Empirisme tidak memberikan kepastian. Apa yang disebut sebagai pengetahuan yang mungkin, sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan.
Kelemahan-kelemahan dari masing-masing pandangan Rasionalisme dan Empirisme di atas, membuka celah bagi ditemukan dan dibentuknya sebuah pandangan baru yang dapat mengatasi kelemahan-kelemahan tadi. Salah satu usaha untuk mengatasi kelemahan-kelemehan tadi adalah dengan mengkombinasikan atau mengawinkan kedua pandangan dari aliran tersebut.
Terdapat sebuah anggapan bahwa ilmu pada dasarnya adalah metode induktif-empiris dalam memperoleh pengetahuan. Memang ada beberapa alasan untuk mendukung anggapan ini, karena para ilmuwan dalam mengumpulkan fakta-fakta tertentu, melakukan berbagai pengamatan dan mempergunakan data inderawi. Namun demikian, apabila dicermati dengan lebih mendalam maka didapatkan bahwa kegiatan pra ilmuwan tersebut merupakan suatu kombinasi antara prosedur rasional dan empiris.46 Dengan demikian, akal dan pengalaman dipakai secara bersamaan sehingga terjadi perkawinan antara pandangan Rasionalisme Descartes dengan Empirisme Hume.
Perkawinan inilah yang penulis maksudkan dengan metode ilmiah yang didalamnya terdapat prosedur-prosedur tertentu yang sudah pasti yang dipergunakan dalam usaha memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi oleh seorang ilmuwan. Menurut Kattsoff47 Proses metode ilmiah dimulai dengan pengamatan (artinya pengalaman-pengalaman) dan diakhiri 
dengan pengamatan pula. Tetapi permulaan dan akhir ini hanya sebuah pembagian yang bersifat nisbi.

Pengetahuan ilmiah, menurut Suriasumantri,48 harus memenuhi dua syarat utama. Pertama, pengetahuan itu harus bersifat harus konsisten, yakni sejalan dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi. Kedua, pengetahuan tersebut harus cocok dengan fakta-fakta empiris, sebab teori yang bagaimanapun konsistennya jika sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah berikut:49 1. Perumusan masalah; berisikan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas
batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan berbagai faktor yang terkait di
dalamnya. 2. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis; argumentasi yang
menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengait dan membentuk permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
3. perumusan hipotesis; jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
4. Pengujian hipotesis; pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
5. Penarikan kesimpulan; penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Apabila dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis, maka hipotesis diterima. Sebaliknya, apabila dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis, maka hipotesis ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian pengetahun ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yang mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya secara korespondensi.
Terlihat bahwa metode ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dengan logika induktif yang ditandai dengan Rasionalisme dan Empirisme hidup secara berdampingan dengan sebuah mekanisme korektif.
PENUTUP
Sebagai metode untuk mendapatkan pengetahuan, baik Rasionalisme yang diusung oleh Descartes maupun Empirisme yang didukung oleh Hume masing- masing memiliki kelemahan-kelemahan yang mendasar. Oleh karena itu, 
dibutuhkan sebuah metode lain yang lebih dapat dimunculkan sebagai sebuah metode yang handal untuk pencarian pengetahuan tersebut. Salah satunya adalah dengan mengawinkan Rasionalisme dengan Empirisme sehingga kelemahan- kelemahan masing-masing aliran sebagai sebuah metode dapat diatasi.

Perkawinan antara Rasionalisme dengan Empirisme ini dapat digambarkan dalam metode ilmiah dengan langkah-langkah berupa perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan.

DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral, 2002, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume Sampai Thomas Kuhn, Teraju, Jakarta
Bagus, Lorens, 2002, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cummins, Robert dan David Owen (eds.), 1999, Central Readings in the History of Modern Philosophy: Descartes to Kant, Wadsworth Publishing Company, Canada
Descartes, René, 1953, Discourse on the Method of Rightly Conducting the Reason and Seeking Truth in the Science, dalam a Discourse on Method, terj. John Veitch, J.M. Dent & Sons Ltd., London
Descartes, René, 1953, The Principles of Philosophy, dalam a Discourse on Method, terj. John Veitch, J.M. Dent & Sons, Ltd., London
Edwards, Paul (ed.), 1967, The Encyclopedia of Philosophy Volume 2, The Macmillan Company & The Free Press, New York.
Edwards, Paul (ed.), 1967, The Encyclopedia of Philosophy Volume 4, The Macmillan Company & The Free Press, New York
Edwards, Paul (ed.), 1967, The Encyclopedia of Philosophy Volume 7, The Macmillan Company & The Free Press, New York
Gallagher, Kenneth T., 1986, The Philosophy of Knowledge, Fordham University Press, New York
Hadi, Hardono, 1994, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta
Hadiwijono, Harun, 1980, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta
Honer, Stanley M. dan Thomas C. Hunt, 2003, Metode dalam Mencari Pengetahuan: Rasionalisme, Empirisme dan Metode Keilmuan, dalam Jujun S. Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, Yayasan obor Indonesia, Jakarta
Hume, David, 1999, an Enquiry Concerning Human Understanding, dalam Central Readings in the History of Modern Philosophy: Descartes to Kant, Robert Cummins dan David Owen (ed.), Wadsworth Publishing Company, Canada
Jones, W.T., 1969, A History of Western Philosophy: Hobbes to Hume, San Diego, Harcourt Brace Jovanovich, USA
244
Jurnal Filsafat, Desember 2004, Jilid 38, Nomor 3 Kattsoff, Louis O., 2004, Element of Philosophy, diterjemahkan Pengantar
Filsafat, terj. Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta
Lacey, A.R., 2000, A Dictionary of Philosophy, Routledge, New York
Masih, Y., 1988, A Critical History of Modern Philosophy, Motilal Banarsidass, Delhi.
Mudhofir, Ali, , 2001, Kamus Filsafat Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Russell, Bertrand, 1946, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, George Allen and Unwin, London.
Suriasumantri, Jujun S., 1988, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan Jakarta

5
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal. 929. Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy Volume 7, New York, The Macmillan
Company & The Free Press, 1967, hal. 69. A.R. Lacey, A Dictionary of Philosophy, New York, Routledge, 2000, hal. 286. Bagus, loc. Cit. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal.
929. Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy Volume 7, New York, The Macmillan
Company & The Free Press, 1967, hal. 69. A.R. Lacey, Hadiwijono, loc. Cit. hal. 18. 10 Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy atau Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono,
Yogyakarta, Tiara Wacana, 2004, hal.135.
235M. Ied Al Munir, Tinjauan Kritis Metode Ilmiah ...
11 Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Metode dalam Mencari Pengetahuan: Rasionalisme, Empirisme dan Metode Keilmuan, dalam Jujun S. Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, Jakarta, Yayasan obor Indonesia, 2003, hal. 99.
12 Ibid. 13 Bagus, op. Cit., hal. 197. 14 Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy Volume 2, New York, The Macmillan
Company & The Free Press, 1967, hal. 499. 15 Lacey, op. Cit., hal. 88. 16 Bagus, op. Cit., hal. 197-198. 17 Honer dan Hunt, op. Cit., hal. 102.
236
18 
Ibid. 19 Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy Volume 2..., hal. 344. 20 Robert Cummins dan David Owen (eds.), Central Readings in the History of Modern
Philosophy: Descartes to Kant, Canada, Wadsworth Publishing Company, 1999, hal. 1; dan W.T. Jones, A History of Western Philosophy: Hobbes to Hume, San Diego, Harcourt Brace Jovanovich, 1969, hal. 154.
21 Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Barat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, hal. 124; Lacey, op. Cit., hal. 78 dan Jones, loc. Cit.
22 Masih, op. Cit., hal. 33.
237
M. Ied Al Munir, Tinjauan Kritis Metode Ilmiah ...
les vérités dansles sciences (Discourse on Method), 1637; Meditationes de Prima Philosophia (Meditations on the First Philosoph), 1641; Principia Philosopiae (Principles of Philosophy), 1644;23 dan Les Passiones de L’ame (1650).24

By :
Free Blog Templates